Sabtu, 15 November 2008

Ketika Islam Berjumpa Demokrasi


Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Saiful Mujani, Gramedia Pustaka Utama, 2007

Andy Budiman

Bagi ilmuwan politik seperti Samual P. Huntington atau ahli sejarah Islam seperti Bernard Lewis, judul buku ini pasti terasa aneh. Muslim Demokrat, bagi mereka adalah sebuah contradictio in terminis. Huntington dan Lewis pasti heran bagaimana mungkin dua kategori yang saling bertentangan disebut dalam satu tarikan nafas. Bagi mereka, semakin Islami seseorang, maka akan semakin jauh ia dari nilai-nilai demokrasi.

Selama ini, ada sejumlah pandangan umum yang menunjukkan kontradiksi diantara dua kategori tadi (Saiful Mujani, hal 32 s/d 34):
* Hipotesis pertama, semakin Islami, semakin kecil keterlibatannya dalam kegiatan masyarakat yang bersifat sekuler.

* Kedua, semakin Islami, semakin tidak toleran ia terhadap kelompok lain (terutama yang berbeda keyakinan).

* Ketiga, semakin Islami semakin jauh ia terlibat dalam politik (demokrasi).

* Keempat, semakin Islami maka akan semakin tidak percaya ia terhadap institusi demokrasi.

* Hipotesis kelima, semakin Islami, semakin besar pula penolakan atas prinsip demokrasi.

* Keenam, semakin Islami, semakin ia tidak mendukung negara bangsa sebagai sebuah komunitas politik (karena Islam lebih mengenal konsepsi ummah)

* Ketujuh, semakin Islami semakin ia tidak berpartisipasi dalam politik kecuali politik itu terkait dengan tuntutan agama.

* Kedelapan, semakin Islami semakin kecil kemungkinan ia menjadi warga yang setia (tertarik pada politik dan percaya pada institusi politik demokrasi).

* Hipotesis terakhir, seorang muslim yang tidak toleran akan cenderung aktif dalam politik.
Peneltian empiris Freedom House yang terangkum dalam indeks hak politik dan kebebasan sipil tahun 2002 mengkonfirmasikan hipotesis tadi. Selama tiga puluh tahun terakhir, hanya ada satu negara berpenduduk muslim yang dikategorikan demokratis. Sisanya yakni 35 negara masuk kategori otoritarian. Bahkan, delapan dari tigabelas negara paling represif di dunia adalah negara-negara muslim, khususnya yang ada di Timur Tengah.

Disertasi Saiful Mujani yang kemudian dibukukan ini, ingin menguji hipotesis yang dibangun oleh orang seperti Huntington dan Lewis, mengenai Islam dan demokrasi.

Beberapa Temuan

Melalui survei opini publik, Saiful Mujani menemukan sejumlah kesimpulan (baca hal 313 s/d 324) :

* Islam di Indonesia mempunyai keterlibatan dalam kegiatan kewarganegaraan sekuler. Ibadah sunnah di NU, identitas ke-Muhammadiyah-an dan jaringan keterlibatan dalam perkumpulan sesama muslim, justru memperkuat keterlibatan orang dengan kegiatan yang bersifat sekuler.

* Keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam kegiatan keagamaan dan sekuler membuat umat Islam toleran terhadap kelompok lain.

* Pada hipotesis ketiga, Umat Islam di Indonesia justru memberikan kontribusi positif bagi munculnya partisipasi demokrasi.

* Keempat, umat Islam yang saleh di Indonesia tidak mengancam konsolidasi demokrasi.

* Ada sejumlah nilai dalam Islam yang diyakini mendukung demokrasi, yakni melalui ijtihad (penalaran rasional), ijma (konsensus), ikhtilaf (perbedaan pendapat), dan syura (konsultasi). Saiful Mujani menyimpulkan, korelasi negatif antara Islam dengan prinsip demokrasi meragukan.

* Muslim di Indonesia sangat mendukung negara bangsa. Konsepsi tentang ummah tidak otomatis bertentangan dengan gagasan negara bangsa.

* Unsur-unsur ibadah dalam Islam justru makin memperkuat keterlibatan umat Islam di Indonesia dengan berbagai masalah masyarakat, tak hanya yang terkait dalam urusan agama.

* Dalam hipotesis kedelapan, Saiful menemukan tak ada kaitan antara keimanan seorang muslim dengan ketertarikan dengan politik dan kepercayaan terhadap institusi politik.

* Terakhir, Islamisme yang bersifat intoleran tak terkait dengan aktifitas politik. Seorang muslim yang intoleran justru cenderung tidak aktif dalam politik dan bukan merupakan ancaman bagi demokrasi.

Arti Penting

Dalam pandangan saya, buku ini menempati posisi yang sangat penting dalam kajian tentang Islam dan demokrasi kontemporer di Indonesia.

Alasan pertama, buku ini menyajikan pendekatan baru dalam ilmu politik. Selama ini, dunia ilmu politik Indonesia didominasi oleh pendekatan historis, sosiologis atau antropologis. Pendekatan antropologis ala Clifford Geertz melalui buku Religion of Java, membawa pengaruh besar bagi kajian politik di Indonesia. Penelitian tentang politik di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Geertz. Saiful Mujani bisa disebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan pendekatan empiris dalam dunia politik yang sebetulnya sudah berkembang sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.

Alasan kedua, Islam kini menjadi sorotan dunia terutama pasca peristiwa 11 September. Isu Islam dan demokrasi menjadi kajian penting apalagi bagi negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia . Buku ini memberi sumbangan berarti tidak hanya bagi kita di Indonesia , tapi juga peneliti dari negara lain yang tertarik mengkaji hubungan antara Islam dan demokrasi.

Beberapa kritik

Meski memberikan sumbangan yang sangat penting, bukan berarti buku ini sepi dari kritik. Kritik pertama datang atas pendekatan metodologis yang dipilih Saiful. Bukan rahasia umum, bahwa para peneliti politik dari aras lain (terutama kiri), mencibir model pendekatan empiris. Argumentasinya, bagaimana mungkin manusia (baca: sikap dan pandangannya) bisa dipilah-pilah dan dikerangkeng dalam kategori yang ketat untuk kemudian ditundukkan (baca: ditafsirkan oleh sang peneliti).

Kritik kedua, terkait pendekatan budaya yang dipakai Saiful Mujani. Pendekatan model ini banyak dikritik oleh para ahli yang mengkaji masalah demokrasi. Alih-alih menjelaskan, pendekatan ini justru dianggap kerap mengaburkan. Bahkan kita ingat, alasan budaya pernah dipakai oleh rejim otoriter untuk menolak demokrasi. Para penguasa otoriter di Asia seperti Soeharto, Mahathir Mohamad, dan Lee Kuan Yew pernah menolak demokrasi dengan alasan tak sesuai dengan nilai (baca: budaya) Asia .

Terakhir, penelitian Saiful Mujani yang dibuat antara tahun 2001 dan 2002 ini, dilakukan pada saat terjadinya perubahan drastis di dunia muslim tanah air. Pasca reformasi, kita menyaksikan bangkit dan menguatnya ke-Islam-an. Partai politik dan organisasi agama berbasis Islam muncul. Fenomena terorisme, perusakan tempat ibadah dan sejumlah peristiwa intoleransi lain mengindikasikan menguatnya konservatisme. Kalau, asumsi ini benar, bisa jadi Saiful Mujani harus banyak merevisi pandangannya yang menganggap Islam di Indonesia tidak bertentangan dengan demokrasi.

Source:
http://klubbukufilmsctv.wordpress.com/2008/07/14/ketika-islam-berjumpa-demokrasi/#more-19